Jan 8, 2009

At the Beginning

Suatu hari, seseorang datang ke gwe dalam sebuah undangan makan bersama keluarga besar, sambil menyantap snacknya, beliau bertanya penuh ketertarikan, seakan ingin menyita seluruh perhatian gwe dan membuat gwe merasa begitu spesial, "Risang, kamu mau sekolah di mana nanti?". "Di mana aja, aku pengen sekolah diluar" (red: luar negeri). Dengan enteng beliau merespon, "Oh ya? Bagus..bagus.. Anak om.....", ahhh berlanjutlah curhat membosankannya tentang anaknya dan sekolahnya di ITB, UI atau UGM. Bukannya gwe gak mau mendengarkan, hanya saja, satu! Gwe sudah terpana ketika dia seakan-akan memperhatikan gwe dan bertanya-tanya soal masa depan gwe. Dua! Bukan gwe ga tertarik soal anaknya yang cantik dan sayangnya masih sodara gwe dan terpaut beberapa tahun di atas gwe, gwe pun mimpi-mimpi pengen kuliah di ITB atau UI dulu, tapi, gwe kesel karena gwe pikir gwe benar-benar dianggap spesial dan jadi pusat perhatian dalam pembiacaraan itu yang mana disimak beberapa bapak-bapak lain yang belum pada ngumpul untuk ngobrol soal persoalan Bapak-bapak. (Betewe, emang susah berada di usia tanggung saat kumpul keluarga.. main sama kelompok umur adek gwe, gwe udah gak update mainan mereka. Zaman digimon? sori boy, gak kenal.. Main sama para ABG yang baru masuk SMA?? wah gwe gak ngerti motor atau mobil atau ngomongin pelajaran dan ujian sampe guru killer yang mereka describe seakan-akan pengalaman masing-masing paling keren dan ngeri. Kelompok umur bujangan? Gwe gak tertarik sama topik cari jodoh, dan bapak-bapak? Hmm.. inilah akibatnya kalo lo nekad duduk deket mereka sebatang kara, berlagak seakan-akan ngerti pembicaraan mereka. Gwe biasanya memilih kelompok ibu-ibu yang lebih membumi. Makanya gwe gak buta-buta amat soal masak) Tiga! Gwe gak suka, cara dia menampik impian berapi-api gwe yang pengen sekolah di luar negeri, seakan-akan itu mimpi belaka yang akan sulit untuk gwe capai, tersirat dalam titik-titik yang gak gwe lanjutkan. Alasannya? Gak ada satu pun dari anggota keluarga gwe yang punya record ke luar negeri untuk kuliah, kerja atau melakukan hal lain, kecuali Alm. Mbah Sur, yang selalu memotivasi gwe, seakan-akan bilang,"ayo sang semangat, kejar mimpi kamu! Kamu bisa..". Itu bukan mimpi mbah, itu garisan hidup yang berusaha mati-matian aku penuhi btw.

Anyway, Gwe bahkan lupa kapan kejadiannya, gwe umur berapa (umph mungkin kira-kira umur-umur baru atau baru mau masuk SMP),di mana dan bagaimana settingnya dan siapa om-om itu. yang pasti, mungkin dia akan terkejut sekarang kalau mendengar gwe sedang berusaha bertahan hidup di Jerman. Bukan terkejut karena gwe lagi bokek dan ngirit makan, tapi kalau dia ingat pembicaraan kami dulu, dia pasti gak akan menyangka kalo gwe dan adek gwe bener-bener serius untuk itu. Sama halnya seperti waktu gwe sampe nangis-nangis mau masuk IPS. IPS? IPA? is it a big deal, Sang? Well, sayangnya iya. Sayangnya, dalam sejarah keluarga gwe, dari bokap khususnya, gak ada dari mereka yang ngambil jurusan "tabu" ini di SMA, meskipun akhir-akhirnya sodara gwe akan dengan senyum-senyum kecut menjawab "Bisnis.."; "Manajemen, Om.."; "Akuntansi, Sang..." ketika gwe tanya kuliah apa sekarang. Buat mereka, masuk IPA penting untuk membangun dasar logika berpikir. Dan gwe gak nyalahin teori itu. Tapi, IPA adalah label kebanggaan mereka ketika kami lagi kumpul keluarga dan saling menanyakan "Masuk IPA atau IPS?". Dan gwe, adalah kaum minoritas yang cuma bisa cengar-cengir, dan jadi gak pede sama pilihan gwe. Mungkin bokap gwe punya keyakinan sama pilihan gwe, tapi dalam hati kecil mereka, gwe tahu mereka pasti sedikit banyak berharap.. "Coba Risang masuk IPA.". Dan pada saat pertanyaan lanjutan muncul, "Kenapa masuk IPS?" gwe merasa seakan.akan seisi ruangan menganggap gwe bodoh sampe gwe masuk IPS. Wtf?? Mitos yang aneh emang. Tetapi, mitos itu masih menjadi batu kerikil yang susah terkikis di otak mereka dan otak orang banyak. Butuh beberapa abad lagi sampe mindset itu gak jadi barikade buat anak dari om-om dan tante-tante yang pengen masuk ips. Anyway I'm proud to be an IPS-er.Dan sampe sekarang gwe gak pernah nyesal soal itu. Bokap Nyokap mungkin akan bilang dan merespon pertanyaan bude-bude dan pakde gwe, "Yah itu pilihan dia.." dan mendukung gwe sambil menguatkan mental gwe habis-habisan. Tapi gwe, dibalik senyum gwe, cuma bisa teriris-iris dan berharap semoga gwe bisa cepet pulang dan menangis. Cengeng? Call me it! emang gwe cengeng dan ga boleh ada yang melarang gwe nangis. I've been through child times when I wasn't allow to cry and act like
im tough.

Anyway, I swear it was like the question of that time. Beberapa tahun kemudian, saat gwe makin gede, makin cuek dan makin ganteng (Oops...) di SMA,
pertanyaan berikutnya adalah, "Kenapa Jerman, Sang?. Gwe bilang aja sekolahnya gratis. Bukannya gak mau njelasin, tapi... "Dulu lo bilang gwe gak mungkin ke sana, sekarang lo pasti gak akan ngerti kalo gwe mencoba njelasin alasan gwe. Sudahlah. lihat dan saksikan saja. Enggak pun gakpapa. Ini hidup gwe dan gwe bangga menjalaninya. Inilah hidup gwe dan gwe dedikasikan buat gwe dan keluarga gwe kok pada akhirnya. Kalo gwe sukses, gwe ga akan minta apa-apa dari lo sebagai ganti rugi kata-kata lo yang menyisakan sakit hati atau dukungan materiil dan moril yang gak lo sumbangkan buat gw. Gwe gak peduli itu kok, Om. Gwe pasti akan membuat lo bangga juga, tetep." Ucap gwe dalam hati, sambil senyum manis depan dia.

And here i am, running a new program of my life, walking in a new path to the future with my own way. No matter what, I'll get through this amazing phase of my life. Well, why I want this anyway? Good question..

Gwe, terlahir sebagai petualang. Gwe yakin gwe punya jiwa petualang dan soul untuk bertahan hidup. Waktu gwe di perut aja, gwe bolak-balik nenemin nyokap gwe ke Pekan Baru, yang niatnya mau pindah ke sana nyusul bokap.
Waktu kecil, gwe punya mbah kakung yang oke banget. Gak ada mbah kakung sekeren dia yang gwe harepin dalam hidup gwe. Dan beliau, seneng jalan-jalan dan selalu mengikutsertakan dia dalam trip keliling Bandungnya. Beliau bisa mendeskripsikan sebuah suasana sederhana di sebuah kertas dengan luar biasa menakjubkan ketika kami terpisah jarak. Lewat kuas, cat, atau bahkan pensil dan bolpennya, dia bisa gambar dan mendeskripsikan itu dalam beberapa kalimat dengan sangat indah, membuat gwe pengen ke sana menyaksikan itu sendiri. Dan beliau gak henti-hentinya mengajarkan gwe untuk berusaha keras untuk apapun. "Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian" Quote populer a'la mbah gwe. Selalu, setiap dia main ke Jakarta, setelah gwe pindah ke Jakarta tahun '95an, setiap malem dia cerita tentang masa kanak-kanaknya, zaman Belanda, masa-masa dia ditangkep kompeni dan ditahan waktu lagi cari kayu bakar. Dan lalu memberikan pesan moral dibalik cerita itu. Apapun itu, buat bocah kayak gwe waktu itu, gak akan mudah terlupakan. Hidupnya benar-benar penuh petualangan, yang setiap hari selalu menginspirasi gwe untuk semakin berjiwa bebas.

Sampe saat beliau sudah gak ada aja, gwe masih tetap berpetualang. Rasanya, gwe gak tenang kalau dalam waktu lama gwe hanya larut dalam kesibukan di rumah dan rutinitas di sekolah. Gwe pasti sadar gak sadar menyisihkan waktu gwe untuk cuci mata, entah itu ke alam bebas atau sekedar bertualang keliling jakarta naik angkutan. gwe seneng menemui situasi baru, mengenal orang dan merasakan sensasi jauh dari rumah dan merindukannya. Gwe bisa diem bengong mendengar suara campuran knalpot, kenek, pegawai kantoran yang makan siang, pengamen dan deru mobil di halte bus dan menyatukannya jadi lagu mellow yang enak banget, sambil nungguin kopaja sialan yang gak lewat-lewat atau kalo sekalinya setelah setengah jam lewat penuh ancur (damn you 613!). Gwe bisa melihat suatu hal yang biasa jadi menarik dan gak terlupakan seumur hidup gwe. Gwe bisa mengautiskan diri di tengah kerumunan orang-orang yang notabene gak nyaman, sambil dengerin lagu. Gwe kangen banget suasana-suasana itu.

Makin gede, gwe makin merasa gwe pengen ke luar dan melihat dunia (baik dalam arti denotatif maupun konotatifnya). Gwe pengen tahu dan merasakan dunia lain selain dunia gwe sekarang. Dan gwe janji sama diri gwe, kalo gwe punya kesempatan dan Tuhan mengijinkan, gwe akan pergi melihat "Tanah terjanji".. wooohooo.. Dan akhirnya, diri gwe bener-bener menyiapkan gwe untuk itu. Gak cuma mimpi gwe yang diakomodasikan, tapi masa depan bidang akademis gwe pun diikutsertakan untuk dipikirkan. Jurusan yang gwe pilih, arah studi gwe dan planning hidup gwe dalam jangka waktu PE-LI-TA gwe bener-bener melengkapi obsesi masa kecil gwe. Lengkap sudah semua! Impian dan kenyataan hidup sudah padu, Rasio dan semua hal-hal yang tidak rasional dalam bentuk fantasi dan mimpi gwe akan berpadu menjadi sebuah petualangan baru di hidup gwe mulai sekarang. Memang sih, itu semua sirna kalau gwe diterima di akmil, sayang, gwe mesti mengubur dan melupakan mimpi-obsesi dan ambisi seumur hidup gwe yang satu ini. No further explanation. Heheh.

Kalau gwe jadi seorang pengamat yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk melihat perkembangan gwe dari kecil sampe habis umur gwe, dia pasti akan tersenyum melihat gwe sekarang, melihat gwe mewujudkan mimpi-mimpi gwe ,berusaha meraih lainnya bahkan membuat lagi yang baru.

Tapi petualangan gwe belum selesai. Lembaran buku diary petualangan gwe baru aja dimulai. Dimulai dari Nürnberg, Germany full of surprise, lalu Coburg dan akan berlanjut lagi dengan kejutan-kejutan baru lainnya.

If i survive, (which i will!) i'll remember this as the most incredible adventure ever!

Siapkan kompas anda, kita akan berpetualang! Tertarik?



No comments: