Jan 17, 2009

Kolese Gonzaga

Suatu hari saya tidak sengaja memutar lagu "Mars Kolese Gonzaga" di i-tunes, sebuah rekaman amatir yang sangat sempurna, yang kalau tidak salah ditangkap dengan baik lewat kamera Catur. Rekaman itu lalu terkonvert ke file mp3 dan beredar tanpa sengaja di antara siswa siswi dan alumni Kolese Gonzaga. Terlebih khususnya, mereka yang mengambil bagian dalam peringatan Lustrum ke-4 Kolese Gonzaga, Januari 2006, saat di mana Mars, yang malam ini membuat saya "merinding" saat mendengarnya, dibawakan dengan sangat sempurna oleh Wacana Bakti Symphony Orchestra. Kala itu, saat musik ini dimainkan, saya berdiri di samping panggung, meneteskan sedikit air mata bangga yang sampai sekarang tidak bisa saya jelaskan. Sambil menutup mata, saya terbawa haru dalam euforia mereka semua yang menyanyikan dan membawakan Mars Kolese Gonzaga. Tepuk tangan dan sambutan meriah manusia-manusia yang memenuhi Tater tanah Airku seusai Mars selesai dimainkan menjelaskan semua euforia saya, yang begitu bahagia bercampur haru. Sebuah pengalaman yang menakjubkan, bagaimana sebuah lagu telah menyentuh hati saya. Sebuah momen yang tepat, Lustrum IV, event terakhir saya sebagai bagian dari manusia-manusia Gonzaga, karya-persembahan terakhir untuk almamater, sebelum saya kembali membuka mata dan terjun lagi ke dalam masyarakat, "menggapai impian" (Di Penghujung Waktu- De Portablus). Saat itu, Beberapa menit. Saat melodi itu saya dengar dan saya hayati, dari awal, hingga habisnya, saya merasakan kebahagiaan yang tidak akan saya lupakan, mungkin seumur hidup saya.

Dan, mungkin, ini adalah
performance terbaik Mars Kolese Gonzaga selama saya di Gonzaga. Dan malam ini, 17 Januari 2009, beberapa tahun setelah peristiwa Lustrum IV.....
"Mars Kolese Gonzaga", membuat saya memejamkan mata saya, tidak sadar membangunkan saya dari kursi saya, berdiri dan mengepalkan tangan di jantung saya, sedikit menengok ke belakang, lagi melihat apa yang terjadi beberapa tahun silam, ketika saya masih menjadi bagian di dalam sebuah kisah, di Gonzaga.

Gonzaga? hmm.. Apa ya?
Sebuah penggalan kisah klasik di masa lalu, yang setiap kepingan yang akhirnya diterjemahkan angkatan 18 dengan kata "Mozaik" dalam Video tahunannya, membawa memori yang tidak pernah akan terlupakan mereka yang pernah hidup dan menghidupkannya. Termasuk saya, bagian kecil dari kebesaran Gonzaga yang masih tidak bisa melupakan bahwa masa saya sudah habis di sana..

Pada awalnya, Gonzaga bukanlah sebuah pilihan, terhalang bayang-bayang SMAN 8, atau SMAN 70, Lab School atau Taruna Nusantara yang bersinar-sinar bagi lulusan SMP seperti saya, bahkan. Gonzaga bukanlah tujuan awal saya. Entah apa yang menarik saya masuk ke dalam tiga tahun masa SMA yang ternyata adalah yang paling indah dalam hidup saya sejauh ini, tapi, kala itu, ketika saya pertama menginjakkan kaki di sana, saya benar-benar merasa bahwa inilah pilihan saya, meskipun saya tidak tahu apa yang akan saya hadapi di Gonzaga. Sebuah insting yang akhirnya membawa saya masuk ke dalam sebuah petualangan hidup yang sungguh menarik. Sungguh belum sekalipun, terlepas dari morat-marit, konflik, insiden dan keunikan Gonzaga, saya menyesali pernah menjadi bagian di dalamnya.

Seragam (semi) bebas, batik, kulot-bukan rok, kebebasan, rambut gondrong, kegiatan, kepanitiaan, pengalaman berorganisasi, komunitas dalam kebersamaannya.. Apa sih yang diharapkan seorang remaja yang baru merasa "
exist" dalam hidupnya saat itu? Selain semua tawaran menarik tadi? bagi saya, penawaran itu bagaikan iklan McDonald yang saya lihat saat kecil, tepat pada saat McDonald pertama kali muncul di Indonesia. Menarik, Menarik dan.. menarik. Gonzaga terlihat sangat sempurna dan eye-catching buat setiap dari kita yang menjadi "korban" daya tarik seksual Gonzaga, dilihat dari sisi manapun. Intinya.. Kami semua tertarik terlepas dari apapun itu, kami semua pede masuk Gonzaga.

Namun, seakan-akan, sebuah seleksi alam, Gonzaga memilah setiap dari mereka yang akan masuk ke dalamnya, berdasarkan kesamaan. Sebuah, suatu, sekelompok, sebutlah apa...

Kami yang masuk ke dalamnya punya kesamaan dalam satu, dua hal yang membuat kami akhirnya merasa nyaman di "rumah kami", Gonzaga. Sebuah kesamaan entah apapun, yang awalnya terlihat dan terkspresikan nyata dalam sikap pemberontak remaja-remaja yang baru keluar dari rumah, "sok udah gede" dan gaya dengan seragam yang dikeluarkan., bangga dengan putih abu-abunya atau batik di awal minggu. Kami semua hidup dengan itu ,sambil tanpa sadar... Kami membentuk diri kami secara individual maupun secara kolektif dalam sebuah kedewasaan yang baru kami sadari saat momen-momen "nakal" kami di Gonzaga telah usai.

Sebuah fase, di mana banyak orang akan mengingatnya dengan kata kunci: Belajar, NEM tinggi,
guru killer, pulang sore, olimpiade matematika atau Peer yang menumpuk. Kami melewatinya dan mengingatnya dalam sebuah kutipan tanpa kata, "..............". Karena, mungkin tidak akan ada kata-kata yang pas untuk menggambarkan bagaimana perasaan kami atau bahkan lebih dari itu, saat kami melewati fase itu, Sekolah menengah Atas.. di Kolese Gonzaga.

Entah bagaimana menjelaskannya, beberapa mengatakan kami bukan bersekolah di Gonzaga.. "Entahlah apa Gonzaga itu, rasanya tidak seperti sekolah.."
Entah juga apakah itu benar dan memang demikian adanya, namun tidak akan saya lupakan,

masing-masing dari kami, Gonzagawan- Gonzagawati bertumbuh di sana, dalam sebuah kebersamaan, bersama-sama dalam tawa dan tangis kami, kami menopang satu sama lain tanpa sadar, kami merasakan pahit manis hidup kami saat itu, kami melihat dan membuka mata kami, kami berbuat dan oleh karena itu kami mempelajari sesuatu. Kami belajar menjadi dewasa dan terus mendewasakan diri kami, melepaskan semua atribut individual kami dan bergabung dalam satu kekuatan, bersama dalam melewati rintangan Bersama-sama kami selalu bersama, (sampai kadang kami lupa batas
privacy masing-masing :-)...). Ego kami, kesombongan masa muda dan aroganisme remaja kami membanggakan Gonzaga dan membiarkan kami bangga sebagai bagian darinya. Kami menjalani dan menjalani masa-masa kami perlahan, sampai akhirnya tiba pada hari ini. Sebuah hari di masa depan yang bagi kami saat itu, di masa itu, beberapa waktu yang silam , merupakan sebuah mimpi bagi setiap dari kami. Sebuah hari di mana kami mengingat Gonzaga dalam kenangan kami.

Dan bagi saya, tidak akan ada kata-kata, kalimat atau prosa yang mampu menggambarkan Gonzaga dalam sebuah penjelasan sederhana. Anda harus mengalaminya dan hidup di dalamnya terlebih dulu, baru pada satu masa anda akan mengerti yang saya maksud. Kata-kata tidak akan dapat menggambarkannya. Kata-kata yang akhirnya tertulis inilah yang merupakan sisa-sisa Gonzaga
isme yang masih mendarah daging dalam diri saya, berteriak minta disalurkan.

Dan suatu saat nanti, di satu hari, mungkin kami akan mengenang kembali Gonzaga dalam sebuah keadaan lain yang lebih sempurna dari hari ini, dan berterima kasih bahwa kami
manusia susila terpelajar ini berasal dari sana dan akan selalu menjadi bagian di dalamnya.

6 comments:

Sari said...

AD MAIOREM DEI GLORIAM

Radian 'Jawa' Kanugroho said...

Merinding saya mbacanya.. :)

Hildi Febriana said...

bagus banget artikelnya! :)

Anonymous said...

# Gonz 26

Ad Maiorem Dei Gloriam

keren artikelnya

Anonymous said...

Tahun ini merupakan tahun terakhir gua di gonz, dan merinding baca artikel ini. Setuju deh kalo emang harus hidup di Gonzaga utk beneran ngerasain itu semua. AMDG! #Gonz27

Sewa Rumah said...

larut dengan isi artikelnya